Mengapa Pasal 27 ayat (3) UU ITE Dianggap Pasal Karet?
Secara historis, unsur Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat sangat subjektif dan dapat menjadi bahan “karet” bagi penegak hukum.[3] Lalu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap sebagai pasal karet karena isi dari pasal tersebut memiliki pengertian yang multitafsir.[4] Mengapa Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap pasal karet? Hal ini karena ketentuan dari pasal tersebut merujuk pada delik aduan, namun tidak adanya batasan yang jelas terhadap unsur penghinaan dan pencemaran nama baik, menimbulkan beberapa ancaman masalah dalam implikasi pasal tersebut, antara lain:[5]
Dengan kata lain, keadaan multitafsir pada pasal tersebut menimbulkan tidak terpenuhinya tujuan hukum untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.[7] Namun demikian, perlu diperhatikan penjelasan dalam Lampiran SKB UU ITE (hal. 11) bahwasanya bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang didistribusikan, ditransmisikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
Pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP
KUHP memiliki berbagai pasal yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum berjudul Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Menurut UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Reydi Vridell Awawangi, berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.
Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Apabila seseorang telah melakukan unsur-unsur pencemaran secara lisan, maka dapat dikenakan oleh pasal ini.
Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Seseorang yang mencemarkan nama orang lain secara tertulis dapat dikenakan pasal ini.
Pasal 310 ayat 3 berbunyi "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan fitnah yang dapat mencemarkan nama orang lain dapat dikenakan oleh pasal ini.
Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."
Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pengertiannya, jika seseorang mengumpat atau memaki-maki dengan kata-kata keju yang menurut pendapat umum dapat digolongkan sebagai kata penghinaan, maka tergolong memenuhi unsur dari pasal 315.
Pasal 315 KUHP berbunyi "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP.
Pasal 320 ayat 1 berbunyi "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."
Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik
Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.
Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.
Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
Nah, itulah dia pembahasan lengkap mengenai berbagai pasal pencemaran nama baik yang ada di dalam KUHP dan UU ITE. Berbagai pasal yang telah dibahas bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang melakukan pencemaran nama baik.
Catatan utama dari Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE adalah banyaknya korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana. Hal ini dimungkinkan karena perumus UU ITE gagal memperhatikan pengecualian-pengecualian yang bisa terjadi bagi korban kekerasan seksual, yang dilihat dari UU ITE hanyalah cara muatan ini berpindah tangan dan dilakukan di dalam ranah siber. Tidak ada definisi dari “Kesusilaan” dan jika merujuk ke dalam KUHP, perbuatan “melanggar kesusilaan” diatur di dalam berbagai Pasal yang tersebar di dalam buku 2 KUHP tentang kejahatan dan buku 3 KUHP tentang pelanggaran.
Kesusilaan di dalam KUHP juga bergantung erat terhadap nilai kesusilaan di tempat terjadinya perbuatan, suatu hal yang bertentangan dengan konsep internet yang lintas batas (cross-border). Pasal ini juga merupakan duplikasi dengan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang mana di dalam UU tersebut hanya menjerat perbuatan jika muatan asusila disebarkan di muka umum atau digunakan untuk tujuan komersil, dengan demikian frasa “mentransmisikan” yang termasuk korespondensi pribadi seharusnya tidak dapat dipidana disini, terlebih jika tujuannya sebagai bukti kekerasan.
Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.
Banyak pihak menganggap bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan kepada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama. Bahkan, ada juga orang yang merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan hanya karena ada muatan penghinaan yang tidak mencantumkan identitasnya.
Dari segi historis penyusunan UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang telah berdiri dalam KUHP. Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada pemahaman dari KUHP, sehingga dalam UU ITE tidak perlu dijelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Itu juga berarti, Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada KUHP.
Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pada esensinya penghinaan atau pencemaran nama baik ialah menyerang kehormatan, nama baik, atau martabat seseorang.Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP. Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan terhadap organisasi atau institusi.
Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. (Sitompul, 2012)
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.
Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. (Sitompul, 2012)
Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Identitas dapat berupa gambar (foto), username, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud. Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain. Identitas tersebut – meskipun bukan identitas asli – diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain. Dalam hal pelaku tidak menuliskan identitas kepada siapa kalimat tersebut ditujukan, maka konten tersebut bukan merupakan penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk dirinya maka – kecuali pelaku mengaku demikian – diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya dan korban.
Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.
Lebih lanjut, secara pragmatis, dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya korban yang dapat merasakan bagian mana dari suatu pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baiknya. Tidak ada seorangpun yang dapat mewakili korban yang dapat menyatakan sama seperti yang dirasakan oleh korban tanpa korban sendiri yang memberitahukan kepadanya secara langsung. Itulah sebabnya, secara pragmatis, pengurus atau wakil resmi dari institusi atau badan usaha tidak mungkin mengatakan mana dari pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baik instansi atau institusi – sebagai korban.
Kesimpulannya, menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selain ditujukan terhadap manusia sebagaimana dimaksudkan pada pembentukannya sejak awal, merupakan suatu penyimpangan yang memiliki konsekuensi baik secara hukum maupun secara sosial dan kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia yang lain, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech)
Sumber: Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.
Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk menjerat berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.
Di Indonesia, perbuatan pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dikutip dari jurnal hukum website berita Detik.com, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP mengatur berbagai perbuatan pidana
yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum yang diberitakan kembali Detik.com menjelaskan sejumlah pasal yang mengatur perbuatan melawan hukum versi KUHP dan UU ITE
Berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.
Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Pasal 310 ayat 3 berbunyi “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 315 KUHP berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu “Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP. Pasal 320 ayat 1 berbunyi “Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik
Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.
Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.
Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Teguh Arifiyadi menyatakan pencantuman pasal pencemaran nama baik pada perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah sesuai dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Pasal pencemaran nama baik di UU ITE lama telah diuji 3 kali di Mahkamah Konstitusi yang semua putusannya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik itu konsititusional dan tidak melanggar hak asasi manusia,” ujar Teguh, Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE tetap tercantum meski perubahan kedua beleid itu sudah disahkan. Sejumlah pasal karet itu adalah pasal pencemaran nama baik, informasi palsu hingga ujaran kebencian.
Meski begitu, ia pun menyebut perlu ada perbaikan redaksional agar tidak disalahgunakan.
“Sehingga yang perlu diperbaiki adalah redaksionalnya agar tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan kepentingan tertentu. Redaksionalnya disesuaikan dengan rumusan delik pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP baru dan pasal 310 dan 311 KUHP lama,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, setelah KUHP baru nanti berlaku pada 2 Januari 2026, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru yakni UU Nomor 1 Tahun 2024 akan dicabut. "Dan dikembalikan ke delik pencemaran nama baik yang ada dalam KUHP baru,” ucapnya.
Ihwal keinginan sejumlah pihak untuk merevisi total Undang-undang ITE Nomor 1 Tahun 2024, menurut dia, masih sangat memungkinkan terjadi. Asalkan disepakati oleh DPR dan Pemerintah melalui kajian yang komprehensif dari berbagai sisi, baik dari sisi norma, implementasi, dan asas keseimbangan antara korban dan pelaku.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 4 Desember 2023, dan pertama kali dimutakhirkan pada 12 Desember 2023.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.
Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat menghadiri rapat di DPR, Senayan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menghapus pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengatakan pasal penghinaan dalam UU ITE dihapus agar tidak menyebabkan disparitas.
"RKUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE," kata Wamenkumham usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11/2022).
Ia melanjutkan, penghapusan dua pasal itu akan menekan potensi penafsiran berbeda di kalangan penegak hukum. Selain itu, ia menilai penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi.
"Keputusan ini dibuat setelah mendengar masukan masyarakat, karena aparat penegak hukum sering kali menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan," jelas Wamenkumham.
Kendati masih mencantumkan ancaman pidana terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga kepresidenan, RKUHP telah memberi batas jelas antara penghinaan dan kritik. Ia juga menambahkan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.
"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukkan ke RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 yang ada dalam UU ITE," jelas Wamenkumham.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat I. RKUHP akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk dibahas pada tingkat II dan disahkan. [*]
Oleh: Humas UM Sumbar | Kamis,08 Desember 2022 09:02:00
Humas UM Sumatera Barat - SALAH satu yang paling banyak dituntut oleh para aktivis, penggiat HAM, akademisi, adalah penghapusan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Pasal tersebut dinilai berpotensi untuk membungkam demokrasi. Beberapa waktu yang lalu keinginan ini mendapatkan angin segar. Pemerintah berencana untuk mencabut pasal-pasal pencemaran nama baik yang ada dalam UU ITE.
Dilansir dari Tempo.co (28 November 2022), Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa draf RKUHP versi 24 November 2022 turut mencabut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UU ITE. Pasal-pasal inilah yang dijadikan dalih untuk pembungkaman. Adapun Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang memiliki muatan yang melanggarkesusilaan”. Sedangkan Pasal 28 pada ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)”.
Perlu diketahui bahwa sejak disahkan tahun 2016, telah banyak korban pidana menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Ini karena pasal tersebut tidak dirumuskan dengan baik sehingga menimbulkan multi tafsir. Berikutnya pasal-pasal itu digunakan untuk kepentingan penguasa dan membungkam siapa saja yang menentang kebijakan penguasa. Ini dapat dilihat dari catatan, sepanjang tahun 2020 terdapat korban, dan tahun 2021 terdapat 38 korban jerat UU ITE, dengan rincian.
Sedikit catatan sebetulnya kabar tersebut tidak sepenuhnya baik. Sebab rencananya pemerintah akan menggantikan pasal tersebut di dalam RKUHP. Sedangkan RKUHP yang rencananya akan disahkan dalam waktu dekat juga memuat pasal-pasal kontroversial termasuk penghinaan (dan pencemaran nama baik) lembaga negara, dan ditentang oleh banyak pihak. Ini merupakan kabar yang buruk bagi iklim demokrasi. Artinya pembungkaman masih potensial adanya. Untuk proses legislasi berarti kita harus menunggu kelanjutan dari proses legislasi RKUHP.
Di samping itu bukan tidak mungkin ada alasan lain di balik (perencanaan) penghapusan pasal-pasal tersebut. Hukum merupakan produk politik, dan hukum digunakan untuk kepentingan politik. Apa pun yang seharusnya tidak boleh, demi kepentingan politik, hukum bisa dimainkan untuk melegalkan kebijakan. Hukum dan politik saling berkelindan satu sama lain. Untuk itu, saya kira tidak mungkin melepaskan kepentingan politik dari suatu produk hukum.
Mencurigai Alasan Politis Dibaliknya Iklim politik di era ini secara terang-terangan berjalan secara tidak sehat. Politik tidak lagi dipenuhi dengan perang ide dan gagasan. Politik diwarnai dengan intrik-intrik yang membawa kebencian. Serangan-serangan fisik maupun verbal marak terjadi di mana-mana. Dan negara terkesan melanggengkan keadaan-keadaan yang seperti ini. Kepentingan penguasa adalah kekuasaan itu sendiri. Tidak peduli bagaimana pun catur perpolitikan yang terjadi.
Kecurigaan politis ini bisa muncul akibat sikap ‘pembiaran’ pemerintah terhadap kelompok “pemandu sorak” milik negara. Sekelompok orang, yang dicurigai memang bekerja untuk membangun citra penguasa. Persoalan lebih kritis adalah penyerangan terhadap lawan politik dengan cara-cara yang anti-moral. Misalnya menuduh lawannya dengan narasi-narasi anti-Pancasila, anti-NKRI, radikalisme, kadrun, dan semacamnya. Sebetulnya, sangat kentara politisasi dan agenda kebencian di belakangnya.
Terhadap pihak oposisi, penyerangan secara masif melalui sosial media juga turut dilakukan. Skema-skema ini dilakukan dengan cara menyerang sosok dari seorang figur yang berlawanan dengan pemerintah. Kelompok ini berupaya menjatuhkan citra lawan politik, sampai dengan cara-cara yang tidak wajar sama sekali. Tugas utama mereka cuma dua, menghiasi wajah pemerintah dan menjatuhkan pihak yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara apa pun itu.
Pantas untuk curiga jangan-jangan dibalik penghapusan ini adalah untuk membiarkan “pemandu sorak” pemerintah ini untuk lebih leluasa dalam mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Beberapa waktu yang lalu Jokowi mengumpulkan partisipannya di stadion Gelora Bung Karno. Beberapa kali, Jokowi juga melahirkan pernyataan-pernyataan yang sangat kontroversial berkaitan dengan siapa yang menjadi penggantinya. Sesuatu yang sangat tidak wajar dilakukan oleh seorang Presiden.
Presiden bukanlah kepemilikan kelompok tertentu. Presiden adalah lembaga negara yang berarti milik semua warga negara. Tetapi Jokowi masih berupaya untuk membangun citra politiknya. Penguatan basis yang sebetulnya tidak perlu, untuk apa? Bahkan sampai membangun kesan bahwa Presiden hendak ingin mengatur percaturan politik ke depannya. Artinya, seorang presiden pun keluar dari koridornya: sebagai sebuah lembaga negara menjadi penjaga kekuasaan.
Maka dari itu, alih-alih akan munculnya harapan untuk demokrasi yang lebih baik, kita juga patut curiga permainan seperti apa yang akan dimainkan dibalik peraturan-peraturan penting tersebut. Terlalu dini untuk mengatakan, bahwa diumumkannya penghapusan pasal pencemaran nama baik dalam RKUHP sebagai suatu kabar baik. Apakah pemerintah benar-benar memiliki itikad baik di ujung kekuasaan?
(Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
*** Untuk Mendapatkan Informasi Terbaru Ayo Bergabung Bersama Fanpage UM Sumatera Barat
Ikuti Juga Twitter UM Sumatera Barat
Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk mengatur hal-hal yang termasuk dalam berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.
Dalam hukum positif di Indonesia, masalah mengenai pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, permasalahan ini juga diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Nah, dalam artikel ini, kita akan mempelajari tentang pasal pencemaran nama baik yang diatur oleh hukum positif Indonesia, baik KUHP atau UU ITE. Untuk mendapatkan informasi seutuhnya, mari simak pembahasan di bawah ini sampai selesai!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bunyi Pasal 27 UU ITE sebelum Perubahan
Perbuatan-perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi/dokumen elektronik yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, muatan yang melanggar kesusilaan, dan pemerasan dan/atau pengancaman dilarang dalam Pasal 27 UU ITE. Adapun, bunyi Pasal 27 UU ITE adalah sebagai berikut:
Pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1), (2) dan (4) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sementara itu, pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE dipidana dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.[1]
Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas, memuat unsur “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” yang merujuk pada Pasal 310 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 433 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026.
Baca juga: Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Bunyi Pasal 27 UU 1/2024
Perlu diketahui bahwa Pasal 27 UU ITE di atas telah diubah oleh Pasal 27 UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Adapun bunyi Pasal 27 UU 1/2024 adalah sebagai berikut:
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 UU 1/2024 tidak mengatur perihal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana sebelumnya. Namun, di antara Pasal 27 dan Pasal 28 UU 1/2024 disisipkan 2 pasal, yakni Pasal 27A dan Pasal 27B UU 1/2024.
Berdasarkan Pasal 27A UU 1/2024, setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta.[8]
Menurut Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024, perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.
Lalu, tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.[9]
Lebih lanjut, perbuatan yang dilarang khususnya terkait ancaman pencemaran diatur secara terpisah oleh Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, yaitu:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
Menurut Penjelasan Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Kemudian, orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, berpotensi dipidana dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (10) UU 1/2024.
Namun, penting untuk diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024 hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.[10]
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[3] Amri Dunan dan Bambang Mudjiyanto. Pasal Karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bermasalah. Majalah Semi Ilmiah Populer Komunikasi Massa, Vol. 3, No. 1, 2022, hal. 27
[4] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 499
[5] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 491
[6] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 494
[7] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 491
[9] Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024
[10] Pasal 45 ayat (11) UU 1/2024